Friday, April 30, 2010

rumahku syurga ku...





bila la nk cuti ni..lambatnyer...xsabo nk balik...

dijemput kepada : guru dan rakan2 masa di SMKAA, SMK Syed Hassan, SMK Derma, SAM pasir Panjang..Sek men sains Sabah..Pensyarah dan rakan di MTQPP, Maahad Qiraat al-Azhar,mesir..DPLIUM 09..dan semua sahabat2 yang mengenali diri ini...doa kan kami..doa kalian amatlah kami harapkan...(^_^)

Saturday, April 24, 2010

Sejarah Singkat Imam Syafi'i

Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.

Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.


Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.


Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.

Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.

Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.

Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahas an tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan- keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.

Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.


Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”

Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.


Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.

Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”


Karangan-Karanganny a
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.


Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.

Senyuman mayat aktivis HAMAS dibunuh agen Mossad-

Mahmud Mabhuh, aktivis HAMAS yang dibunuh agen Mossad di Dubai ditunjukkan gambarnya dalam keadaan senyum. (artikel dahulu). Cara pembunuhannya seperti filem Hollywood atau Bollywood seperti cerita di bawah. Yahudi dan agen Yahudi dikenali semenjak lama sebelum Nabi Muhammad SAW sebagai bangsa jahat. Mereka membunuh Nabi dan pengikut Nabi. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah hendak diassasinate oleh Yahudi dengan mencampakkan batu besar dari atas rumah tempat Nabi SAW berteduh. Allah mengkhabarkannya kepada Baginda melalui Jibril as. Sheikh Ahmad Yaasin berderai kepalanya akibat peluru berpandu dari Apache. Serpihan darah dan daging memenuhi jalan dan dinding rumah. Tetapi wajahnya seakan tersenyum ‘menerima akibat’ dari sebuah jihad. Isteri saya ngeri apabila melihat wajah mayat-mayat yang mati secara ngeri, tetapi tidak wajah Sheikh Ahmad Yaasin. Para syuhada Palestin ramai yang wajahnya demikian. Barangkali inilah yang disebut oleh Nabi SAW, mafhumnya: ‘Sesiapa yang kasih bertemu Allah, Allah kasih bertemunya’. (kuliah audio)


Cara Mossad bunuh Mahmoud

GAMBAR rakaman kamera litar tertutup menunjukkan Mahmoud (dalam bulatan) diekori oleh dua pembunuhnya di Hotel Al Bustan Rotana, Dubai pada Januari lalu.


--------------------------------------------------------------------------------
NEW YORK – Seperti filem di Hollywood mengenai kisah pembunuhan.

Akhbar New York Post kelmarin menyenaraikan cara satu skuad pembunuhan membunuh seorang komander Hamas, Mahmoud al-Mabhouh di sebuah hotel mewah di Dubai, Emiriyah Arab Bersatu (UAE) pada Januari lalu.

Skuad pembunuhan itu sebelum ini dikaitkan dengan agensi perisikan Mossad milik Israel.

Menurut akhbar itu, Mahmoud yang dilahirkan di Kem Jabalia di Genting Gaza pada 1960 pernah menculik dan membunuh dua askar Israel pada 1989 di Palestin.

Selepas pembunuhan itu diketahui oleh umum, Israel berikrar akan membalas dendam manakala Mahmoud melarikan diri tetapi dia tidak keluar daripada pergerakan Hamas.

Mahmoud kemudiannya dilaporkan menyeludup senjata api dan bahan letupan kembali ke Gaza dari Syria yang merupakan tempat tinggalnya yang baru.

Lebih 20 tahun lalu, dia membantu Hamas mendapatkan peluru peluru berpandu buatan Iran yang mampu terbang ke negara-negara jirannya.

Komander Hamas itu hampir dapat ditangkap Israel tetapi dia berjaya menyeludup masuk ke Syria.

Namun, pihak perisikan Israel kemudiannya mendapat maklumat bahawa Mahmoud akan berada di Dubai pada bulan lalu untuk membeli senjata api dari penjual senjata Iran.

Komander Hamas itu kemudian menempah penerbangan menerusi Internet.

Apabila Mahmoud tiba di Dubai, dia menghubungi isterinya dan memberitahu lokasi tempat tinggalnya.

Beberapa pegawai Hamas mengaku tindakan Mahmoud menghubungi isteri itu mendedahkan dia pada bahaya.

Ia merupakan waktu terbaik untuk melakukan serangan.

Berdasarkan bukti yang ditemui menerusi rakaman kamera litar tertutup (CCTV) dan pasport yang dipalsukan, pihak berkuasa Dubai memutuskan bahawa terdapat satu skuad elit membunuh Mahmoud.

Skuad pembunuh yang didakwa pihak berkuasa Dubai seramai 17 orang termasuk seorang wanita menggunakan muslihat dan taktik yang biasanya dapat dilihat dalam novel-novel tulisan bekas diplomat Amerika Syarikat (AS), Jason Bourne.

Ketua Polis Dubai, Dahi Khalfan Tamim percaya 99 peratus bahawa Mossad merupakan dalang pembunuhan Mahmoud.

Walaupun mendapat kritikan antarabangsa, Israel tidak mengesahkan atau menafikan melakukan operasi membunuh Mahmoud.

Apa yang diketahui ialah satu pasukan yang mendapat latihan tinggi memasuki Dubai untuk melakukan operasi itu yang berlanjutan selama 10 jam.

Operasi itu bermula lewat malam pada 19 Januari lalu.

Menjejaki komander Hamas itu bermula apabila dua ejen lelaki berlepas ke Dubai dengan membawa pasport yang mengisytiharkan namanya sebagai Michael Bodenheimer dan James Leonard Clarke iaitu masing-masing dari Jerman dan Britain.

Tidak lama kemudian, sebuah lagi pesawat yang membawa seorang wanita kurus lampai berumur dalam lingkungan 30-an, memakai cermin mata dan mendakwa dari Ireland dengan menggunakan nama Gail Folliard tiba.

Wanita itu terbang dari Paris dengan seorang lelaki Ireland, Kevin Daveron berdasarkan nama pada pasport palsu.

Kamera pemantauan Dubai merakamkan imej empat orang berkumpul di sebuah lapangan terbang di bandar raya itu.

Mereka kemudian berpecah.

Wanita kurus lampai itu mendaftar masuk ke hotel Al Bustan Rotana yang didiami komander Hamas tersebut.

Tidak lama kemudian, seorang lelaki yang menggelarkan dirinya, Peter Elvinger mendakwa dari Perancis melakukan perbuatan sama dengan wanita berkenaan.

Dia mendaftar di bilik 237 tidak jauh dari bilik Mahmoud.

Dua lagi ejen yang dapat dilihat pada kamera CCTV itu menuju ke sebuah hotel lain.

Pada keesokan harinya, terdapat 17 orang dari pasukan pembunuh berada di Dubai dengan menggunakan pasport palsu.

Mangsa mereka ialah Mahmoud.

Kamera litar tertutup menunjukkan komander Hamas itu mengembara seorang diri yang dianggap sebagai pilihan yang mencetuskan tanda tanya bagi seorang lelaki sepertinya yang mempunyai beberapa pengawal peribadi dan mengetahui dia berada dalam senarai orang dikehendaki Israel.

Menurut akhbar Daily Mail, Mahmoud yang tiba di Dubai diekori oleh satu pasukan peninjau itu yang dibantu dengan alat pengesan diletakkan di kereta sewanya.

Dia antara anggota pasukan itu ialah Daveron yang menggunakan rambut palsu untuk menyembunyikan kepalanya yang botak.

Di hotel tersebut, wanita yang kurus lampai itu menunggu di lobi.

Dia menghabiskan masa pada waktu pagi dengan membeli-belah di kedai mewah, bermain cinta dengan kerani hotel dan melihat pintu depan hotel.

Pembunuh itu tidak bercakap antara satu sama lain secara terus.

Menurut akhbar-akhbar Israel, mereka berkomunikasi dengan menggunakan telefon bimbit yang perbualannya tidak dapat dikesan.

Apabila Mahmoud mendaftar masuk ke hotel al Bustan, Daveron dan wanita kurus lampai itu berundur dan dua lagi ejen muncul.

Kamera CCTV menunjukkan dua lelaki berambut hitam mengekori komander Hamas itu semasa dia berjalan ke lif.

Dengan membawa raket tenis, seluar pendek, baju T dan kasut sukan dengan stoking putih, lelaki-lelaki tersebut tidak mencetuskan syak wasangka Mahmoud.

Pada pukul 8 malam, semasa Mahmoud berada di dalam bilik hotel, skuad pembunuh itu bersedia untuk bertindak.

Wanita kurus lampai itu dilihat tersenyum menerusi kamera CCTV dengan memakai rambut palsu membuat tinjauan terakhir di depan bilik Mahmoud.

Dia kemudian menghilangkan diri. Empat orang lelaki muda yang mengembara dalam dua kumpulan pergi ke bilik komander Hamas itu.

Namun yang mencetuskan misteri ialah bagaimana ejen-ejen itu memasuki bilik Mahmoud dan apakah yang terjadi pada pintu bilik komander Hamas tersebut.

Itu yang menyebabkan pihak berkuasa Dubai kehairanan.

Adakah lelaki itu mengetuk dan berpura-pura seperti kakitangan hotel?

Atau adakah sebagai suspek mereka memasuki bilik itu dengan menggunakan gajet perisikan yang canggih?

Beberapa minit selepas pukul lapan malam, mereka sudah memasuki bilik Mahmoud.

Empat puluh minit kemudian, komander Hamas itu ditemui mati.

Ejen-ejen itu meletakkan lampu meja tidur berjauhan dan menggantungkan wayar itu pada satu gajet yang membunuh Mahmoud dengan kejutan elektrik.




Beberapa penyiasat percaya anggota-anggota skuad pembunuh itu cuba untuk mewujudkan seperti serangan jantung sebelum melemaskannya dengan menggunakan bantal.

Terdapat kesan terbakar pada dadanya.

Pada pukul 8.46 malam empat pembunuhnya dengan tenang keluar dari biliknya dan skuad pembunuh itu berkumpul semula di sebuah lif selain meletakkan tanda jangan ganggu di depan bilik Mahmoud.

Empat orang daripada skuad itu meninggalkan hotel tersebut selang beberapa minit dengan memakai pakaian seperti mereka mahu pergi bermain golf.

Wanita tinggi lampai itu dan baki pasukan pembunuh itu keluar dari Dubai dalam tempoh dua jam dengan menuju ke distinasi berlainan serta menaiki penerbangan berbeza.

Kakitangan hotel kemudian menemui mayat Mahmoud pada waktu pagi.

Apa yang anehnya ialah, bilik dikunci dari dalam.

Pihak berkuasa Dubai masih memikirkan bagaimana pembunuh tersebut mendapat kad kredit berpangkalan di AS untuk membiayai operasi pembunuhan tersebut.

Namun, terdapat spekulasi bahawa wujud seorang lagi pembunuh yang memanjat bilik Mahmoud dan keluar dari biliknya.

Bekas penganalisis Asia Barat untuk Jabatan Pertahanan AS, Graeme Bannerman menyatakan terdapat kemungkinan pembunuh itu tidak mengetahui bahawa di Dubai, terdapat kamera litar tertutup yang merakamkan setiap geri mereka.

Secara faktanya, pembunuh itu dianggap amatur kerana gambar mereka dirakamkan oleh kamera litar tertutup sehingga menyebabkan ada tanggapan bahawa Israel dianiayai oleh sebuah saingan perisikan yang mahu pembunuhan Mahmoud dipersalahkan ke atas Mossad.

“Orang ramai boleh berkata bahawa ia bukannya profesional seperti dikendalikan Mossad kerana pada kebiasaannya tidak ada kesan ditinggalkan oleh agensi perisikan itu.

“Namun, apa yang pasti keberkesanan (operasi bunuh itu) telah diperkatakan,” kata Bannerman.

“Pada masa ini, dengan terdapat kamera pemantauan, suasana tidak seperti pada 30 tahun lalu.

“Ia sukar untuk melakukan (pembunuhan) pada zaman kini.

“Namun, di Israel, tidak ada sesiapa pun yang mempersoalkan ia (pembunuhan) itu telah dilakukan oleh Mossad,” tambahnya.

Pada perkembangan terbaru, Menteri Luar Israel, Avigdor Lieberman kini sedang berunding dengan beberapa pegawai di Eropah bagi meyakinkan bahawa negaranya tidak mempunyai kaitan dengan penggunaan pasport palsu oleh pembunuh Mahmoud.

Pembunuh komander Hamas itu memasuki Dubai dengan menggunakan pasport Britain, Ireland, Perancis dan Jerman. – Agensi

HUKUM BERJABAT TANGAN DENGAN PEREMPUAN

1. Definasi:
1.1. Meletakkan telapak tangannya pada telapak tangan sahabatnya yang
membuatkan telapak tangan berkenaan saling berhadapan. (Taajul ‘Arus Syarhul
Qamus)
1.2. Perbuatan menempelkan telapak tangan dengan telapak tangan yang lain
dengan wajah saling berhadapan. (Lisanul Arab, al-Asas & At-Tahzib)
2. Berjabat Tangan Dengan Perempuan Mahram
2.1. Siapakah dia perempuan mahram?
2.1.1. Sebab Nasab, ada 7:
1) Ibu dan nenek ke atas..
2) Anak perempuan dan cucu ke bawah…
3) Saudara perempuan seibu seayah/seayah/seibu.
4) Ibu saudara dari ayah ke atas..
5) Ibu Saudara dari ibu ke atas..
6) Anak saudara perempuan dari saudara lelaki
7) Anak saudara perempuan dari saudara perempuan.
2.1.2. Sebab Susuan, ada 7, iaitu seperti susunan di atas (mahram sebab
nasab).
2.1.3. Sebab Pernikahan, ada empat:
1) Ibu tiri (Isteri ayah).
2) Anak menantu (Isteri anak lelaki).
3) Ibu mertua (Ibu isteri).
4) Anak tiri (anak perempuan isteri).
2.2. Hukum Berjabat Tangan Dengan Mahram
Dibolehkan berjabat tangan dengan perempuan mahram.
3. Dalil Pengharaman Berjabat Tangan Dengan Bukan Mahram
3.1. Dari Urwah bin az-Zubair, katanya, “Aisyah r.a. pernah mengkhabarkan
kepadanya bahawa Rasulullah s.a.w. pernah menguji beberapa orang perempuan yang
beriman yang datang kepadanya, dengan firman Allah Taala:
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk
mengadakan janji setia bahawa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak
akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan
berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan
mendurkaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka..” (Al-
Mumtahanah: 12)
Maka di antara mereka yang sepakat dengan syarat ini. Rasulullah s.a.w. berkata
kepadanya: “Benar-benar telah aku bai’ah kamu.” “Demi Allah”, kata Aisyah,
“tangan baginda s.a.w. tidak menyentuh tangan seorang perempuan pun ketika
berbaiah. Baginda hanya berbaiah dengan perkataannya: “Benar-benar aku telah baiah
kamu atas hal itu.” (HR al-Bukhari)
Aisyah r.a. meriwayatkan: Tidak pernah tangan Rasulullah s.a.w. menyentuh tangan
seorang perempuan kecuali yang Baginda miliki (isterinya). (HR al-Bukhari)
3.2. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash r.a., katanya, “Rasulullah s.a.w. tidak
pernah berjabat tangan dengan perempuan ketika berbaiah.” (HR Ahmad).
3.3. Dari Muhamad bin al-Munkadir dari Umaimah binti Duqaiqah, katanya: “Saya
pernah datang kepada Rasulullah s.a.w. bersama beberapa orang perempuan untuk
berbaiah atas Islam. Maka mereka berkata, “Wahai Rasulullah s.a.w., kami berjanji
setia bahawasanya kami tidak akan mempersekutukan Allah. Kami tidak akan
mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak kami, tidak akan
berbuat dusta yang kami ada-adakan antara tangan dan kaki kami, dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik.”
Kemudian Rasulullah s.a.w. bertanya: “Maka bagaimana kalian mampu?” Mereka
menjawab: “Hanya Allah dan RasulNya yang paing mengasihi kami daripada diri
kami sendiri. Marilah kami berjanji setia kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah s.a.w. menjawab: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan
perempuan. Ucapanku kepada seratus perempuan seperti ucapanku kepada seorang
perempuan.” (HR Malik & Nasa’i)
3.4. Dari Ma’qil bin Yasaar r.a. katanya, “Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
“Sesungguhnya jika dicerca kepala salah seorang dari kalian dengan alat jahit dari
besi adalah masih lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal
baginya (bukan mahramnya).” (HR At-Thabrani & al-Baihaqi, sahih).
3.5. Dari Abu Hurairah r.a., katanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sudah
ditakdirkan bagi anak cucu Adam bagian dari zina yang pasti akan menimpanya.
Kedua mata, zinanya ialah memandang; zina dua telinga ialah mendengar; zina lisan
ialah ucapan; zina tangan ialah memegang; zina kaki ialah melangkah; zina hati ialah
menginginkan sesuatu, berangan-angan dan farajnya membenarkan atau
mendustakannya.”
3.6. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak pernah aku menyentuh tangan perempuan
(ajnabi/bukan mahram)” (HR At-Thabrani, dari Uqailah binti Ubaid, menurut al-
Albani: Sahih)
3.7. Ibnu Mas’ud r.a. berkata: “Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Perempuan itu
aurat, maka jika dia keluar, syaitan mengagungkannya (mempercantikkannya menurut
pandangan lelaki).” (HR At-Tirmizi)
4. Berjabat Tangan Dengan Perempuan Bukan Mahram Menurut 4 mazhab
4.1. Mazhab Hanafi
- Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan mahram,
sekalipun aman dari syahwat.
- Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-
Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata
tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
4.2. Mazhab Maliki
- Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan mahram. Ini dinyatakan oleh al-
Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.
- Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat
Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.
4.3. Mazhab Syafi’i
- An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama as-Syafi’I
menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan mahram.
- Dibenarkan menyentuh perempuan bukan mahram ketika dalam keadaan darurat,
seperti ketika berubat, pembedahan, mencabut gigi dan sebagainya, seandainya ketika
itu tidak ada perempuan yang boleh melakukannya.
4.4. Mazhab Hanbali
- Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan
bukan mahram, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
- Berjabat tangan dengan perempuan tua; Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi
menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan. Sementara Ibnu Muflih menyatakan;
pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan dengan anak kecil dibolehkan dengan
tujuan menyemai budi pekerti.
5. Sanggahan Terhadap Keraguan Haramnya Berjabat Tangan Dengan
Perempuan Bukan Mahram
5.1. Keraguan 1: Ketika pembai’ahan terjadi, para perempuan berjabat tangan
dengan Rasulullah s.a.w. dari atas baju Baginda s.a.w. Ia didasarkan kepada riwayat
Imam Ahmad dari Asma’ binti Yazid.
Sanggahan:
1. Hadis di atas tidak boleh dijadikan hujah kerana di dalamnya terdapat Syahr bin
Hausyab. Dia seorang yang banyak benarnya dan banyak irsalnya.
2. Hadis-hadis yang semakna dengannya juga tidak dapat dijadikan hujah kerana
semuanya mursal.
3. Hadis-hadis berkenaan bertentangan dengan kehendak hadis yang lebih sahih.
5.2. Keraguan 2:
Hadis 1. Hadis Ummi Athiyah: Rasulullah s.a.w. telah membai’ah kami, kemudian
membacakan kepada kami untuk tidak mempersekutukan Allah dan melarang kami
dari meratapi mayat. Seorang perempuan menggenggam tangannya sendiri sambil
berkata: “Si fulanah telah membahagiakanku, maka aku ingin membalasnya.” (HR al-
Bukhari)
Hadis ini memberi petunjuk, bai’ah dengan Rasulullah s.a.w. dilakukan menggunakan
tangan-tangan mereka.
Hadis 2. Hadis riwayat dari Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Bazzar, At-Thabari dan
Ibnu Murdawaih dari jalan Ismail bin Abdur Rahman dari neneknya Ummi Athiyah
dalam hadis pembai’ahan: “Lalu Nabi s.a.w. menghulurkan tangannya dari luar
rumah, sedangkan kami mengeluarkan tangan kami dari dalam rumah. Kemudian
Baginda s.a.w. bersabda: “Ya Allah, saksikanlah.”
Sanggahan Hadis 1:
Hadis berkenaan menunjukkan yang sebaliknya, iaitu Nabi s.a.w. tidak berjabat
tangan dengan perempuan-perempuan yang berbaiah dengannya.
Sanggahan Hadis 2:
Menghulurkan tangan dari belakang tabir bukanlah menunjukkan Baginda s.a.w.
berjabat tangan tetapi adalah isyarat telah berlakunya bai’ah sekalipun tidak berjabat
tangan.
5.3. Keraguan 3: Telah diriwayatkan bahawa saidina Umar r.a. pernah berjabat
tangan dengan perempuan dalam bai’ah mewakili Rasulullah s.a.w.
Sanggahan:
Al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi: Riwayat di atas dha’if.
5.4. Keraguan 4: Hadis: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan
perempuan.” Ini bermakna Rasulullah s.a.w. tidak melarangnya secara mutlak.
Sabdaan di atas khusus untuk bai’ah sahaja.
Sanggahan:
Pendapat di atas tidak menepati kaedah: Pengajaran tidak diambil dari kekhususan
sebab tetapi keumuman lafaznya.
5.5. Keraguan 5: Berjabat tangan dengan bukan mahram dalam situasi zaman
sekarang telah menjadi perkara darurat kerana telah tradisi ini telah tersebar luas.
Sanggahan:
Tersebar dan meluasnya tradisi berjabat tangan dengan perempuan tidak termasuk hal
darurat.
5.6. Keraguan 6: Kita hanya diperintah meneladani terhadap apa yang dikerjakan
oleh Rasulullah s.a.w., bukan terhadap apa yang Baginda s.a.w. tinggalkan (tidak
kerjakan).
Sanggahan:
Menurut al-Qastalani as-Syafi’I, sunnah ialah apa yang dikerjakan oleh Rasulullah
s.a.w. dan apa yang ditinggalkan (tidak dikerjakan) oleh Baginda s.a.w.
5.7. Keraguan 7: Firman Allah Taala: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci).” (An-Nisaa’: 43)
Firman: “atau kamu telah menyentuh perempuan..” di atas menunjukkan bolehnya
berjabat tangan dengan perempuan bukan mahram sekalipun ia dapat membatalkan
wuduk.
Sanggahan:
Ayat di atas menunjukkan perkara-perkara yang mewajibkan bersuci dengan
menyentuh isteri ataupun perempuan bukan mahram. Ia tidak ada kaitan samasekali
dengan permasalahan berjabat tangan
6. Adab Berjabat Tangan
6.1. Sunnah berjabat tangan
6.1.1. Imam An-Nawawi menjelaskan para ulama bersepakat atas sunnahnya
berjabat tangan ketika bertemu.
6.1.2. Dari Anas bin Malik r.a., katanya: “Seorang lelaki bertanya: “Wahai
Rasulullah, apabila salah seorang dari kami bertemu dengan temannya, apakah dia
perlu menundukkan kepala?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Tidak.” Kemudian lelaki
itu bertanya lagi: “Apakah dia perlu merangkul dan menciumnya?” Baginda
menjawab: “Tidak.” Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah dia perlu berjabat tangan?”
Baginda menjawab: “Ya, jika dia mahu.” (HR At-Tirmizi)
6.1.3. Diriwayatkan dari Anas r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda:
”Janganlah seorang lelaki menundukkan kepada kepada lelaki lain, dan jangan juga
merangkulnya.” Kemudian para sahabat bertanya: “Apakah lelaki itu boleh berjabat
tangan dengannya?” Baginda s.a.w. menjawab: “Ya.” Dari Anas r.a. katanya, “Dulu
para sahabat nabi s.a.w. semasa bertemu sesama mereka akan saling berangkulan.”
(HR at-Thabari dalam al-Ausath dengan sanad baik dan perawi yang sahih).
6.1.4. Huzaifah r.a. berkata: “Rasulullah s.a.w. pernah bertemu denganku,
kemudian baginda s.a.w. bersabda: “Hulurkan tanganmu.” Namun aku tetap
menggenggam tanganku (tidak mahu menghulurkannya), hingga untuk kali kedua dan
ketiga diminta oleh baginda.” Maka Rasulullah s.a.w. bertanya kepadaku: “Apakah
yang menghalangimu?” Aku menjawab: Sesungguhnya aku sedang berjunub.”
Kemudian baginda s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya apabila seorang mukmin bertemu
sesama mereka, kemudian memberi salam dan mengambil tangannya berjabat tangan,
maka kesalahan-kesalahan keduanya berguguran seperti gugurnya daun-daun pokok.”
(HR at-Thabari dalam al-Ausath).
6.2. Disunahkan tersenyum dengan wajah berseri ketika bertemu
6.2.1. Dari Abu Daud, dia berkata: “Aku pernah bertemu al-Barra’ r.a.
Kemudian dia mengucapkan salam kepadaku dan berjabat tangan dan tersenyum
kepadaku, kemudian katanya: “Tahukah kamu mengapa aku melakukan perkara ini
kepadamu?” Aku menjawab: “Aku tidak tahu, tetapi aku melihat engkau
melakukannya untuk suatu kebaikan.” Maka al-Baraa’ bin Azib r.a. berkata:
“Rasulullah s.a.w. pernah bertemu denganku. Baginda s.a.w. melakukan seperti yang
aku lakukan terhadapmu. Kemudian Rasulullah s.a.w. dan akupun menjawab “seperti
yang telah engkau sabdakan kepadaku”. Kemudian Baginda s.a.w. bersabda: “Dua
orang muslim yang bertemu, lalu salah seorang dari keduanya memberi salam kepada
yang lain dan berjabat tangannya, ia lakukan itu semata-mata kerana Allah, maka
kedua-duanya tidak akan berpisah sehingga Allah mengampuni dosa-dosanya. (HR
Imam Ahmad dihasankan oleh al-Albani. Abu Daud dan At-Tirmizi meriwayatkannya
secara marfu’).
6.2.2. Diriwayatkan oleh Jabir bin Salim al-Hujaimi r.a., katanya: “Saya
pernah berkata: “Wahai Rasulullah s.a.w., kami adalah orang desa. Maka ajarkanlah
kepada kami sesuatu yang dengannya Allah memberi manfaat kepada kami.”
Kemudian Baginda s.a.w. bersabda: “Bertqawalah kepada Allah dan janganlah
engkau sekali-kali memperkecilkan kebaikan sekalipun perlu mengosongkan timbamu
ke tempat orang yang meminta minuman, dan hendaklah engkau temui sudaramu
(sesama muslim) dengan wajah gembira.” (HR At-Thayalisi dengan susunan berbeza
dari Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, al-Baghawi, Ibnu Hibban dan lainnya).
6.3. Makruh berjabat tangan dengan pengidap penyakit menular
6.3.1. Maksudnya ialah semua penyakit yang dapat berjangkit melalui
sentuhan.
6.3.2. Diriwayatkan oleh As-Syuraida, katanya: “Di antara utusan Bani
Tsaqif terdapat seorang lelaki yang mengidap penyakit kusta. Maka Nabi s.a.w.
mengutus kepadanya (dengan ucapan): “Sesungguhnya kami telah membai’ah kamu,
maka pulanglah.”
6.3.3. Dari Abu Hurairah r.a. dikatkan bahawa Nabi s.a.w. bersabda: “Larilah
kamu dari penderita kusta seperti kamu lari dari singa.” (HR al-Bukhari)
6.3.4. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
“Janganlah orang yang berpenyakit mendatangi orang yang sihat.” (HR al-Bukhari
dan Muslim)
6.4. Masalah berjabat tangan selepas solat
6.4.1. Pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah: Bid’ah. Alasannya,
Rasulullah s.a.w. tidak melakukannya dan tidak seorang ulama pun yang
menganjurkannya.
6.4.2. Ibnu Abdis salam dari kalangan as-Syafi’iyah mengatakan ia adalah
bid’ah yang dibenarkan.
6.4.3. Al-Imam an-Nawawi: Hukumnya Sunnah. Menurutnya, hukum asal
berjabat tangan adalah sunnah, dan melakukannya dalam beberapa keadaan tertentu
tidak mengeluarkannya dari hukum asal berkenaan.
6.5. Disyariatkan berjabat tangan ketika berpisah
6.5.1. Dari Qaz’ah, katanya: “Ibnu Umar pernah mengutusku untuk satu
keperluan. Kemudian dia berkata: “Marilah, aku hendak mengucapkan selamat
tinggal kepadamu, sebagaimana yang pernah lakukan kepadaku semasa Baginda
s.a.w. mengutusku untuk satu keperluan. Baginda s.a.w. bersabda: “Aku titipkan
kepada Allah agamamu, amanahmu dan penghabisan amalmu.” Dalam satu riwayat
lain dikatakan: “Kemudian Rasulullah s.a.w. mengambil tanganku lalu berjabat
denganku.” (HR Abu Daud, al-Hakim dan Ahmad).
6.5.2. Dari Nafi’, katanya: “Dulu, jika Rasulullah s.a.w. mengucapkan
selamat tinggal kepada seseorang maka Baginda s.a.w. mengambil tangannya dan
tidak melepaskannya hingga orang itu yang melepaskan tangannya terlebih dahulu.
(HR At-Tirmizi dan Ibnu Majah)
7. Hukum memberi salam kepada perempuan
7.1. Memberi salam kepada perempuan yang mahram adalah dibenarkan, malah
dianjurkan salah seorang memulainya.
7.2. Memberi salam kepada sekumpulan perempuan ajnabi. Begitu juga,
sekumpulan lelaki boleh memberi salam kepada seorang perempuan.
Hal ini dibenarkan berdasarkan hadis:
Dari Asma’ binti Yazid, katanya: “Nabi s.a.w. pernah melalui di hadapan kami,
kemudian Baginda s.a.w. memberi salam kepada kami.” (HR Abu Daud, at-Tirmizi,
Ibnu Majah dan selainnya. Menurut at-Tirmizi hadis ini Hasan)
7.3. Memberi salam kepada perempuan ajnabi, tidak dibenarkan melainkan jika
tidak mendatangkan fitnah.
7.4. Memberi salam kepada perempuan tua, dibenarkan kerana terhindar dari
fitnah.

Aurat Wanita Ketika Bersama Wanita

Jika seseorang wanita Islam bersama-sama wanita Islam yang lain, maka aurat yang mesti ditutup ialah bahagian anggota yang terletak di antara pusat dan lutut. Ini bermakna bahawa seorang wanita Islam harus melihat anggota lain selain daripada anggota yang terletak di antara pusat dan lutut wanita Islam yang lain.
Manakala kedudukan aurat seorang wanita Islam dengan wanita bukan Islam pula para ulamak berselisih pendapat mengenainya. Perselisihan berlaku berpunca daripada penafsiran ganti nama (dhamir) “mereka” dalam ayat 31 surah al-Nur yang bermaksud:

“Perintahlah (wahai Muhammad) akan wanita Mukminin supaya mereka mengawasi “mereka” dan supaya mereka menjaga alat-alat kemain mereka dan aurat mereka. Dan tidak boleh mereka memperlihatkan aurat mereka kecuali aurat yang zahir (muka dan dua tapak tangan). Dan wajib mereka memakai tudung kepala serta menutupi bahagian dada mereka….”
Para ulamak yang menafsirkan gantinama “mereka” itu dengan erti wanita-wanita Islam sahaja, berpendapat adalah tidak harus wanita-wanita Islam mendedahkan sebarang sebarang aurat mereka biarpun yang lain selain daripada anggita yang terletak di antara pusat dan lutut apabila berhadapan dengan wanita bukan Islam.
Kedudukan wanita bukan Islam di dalam masalah ini samalah dengan kedudukan lelaki ajnabi. Inilah pendapat yang menjadi pegangan sekumpulan fuqahak mazhab Shafie, Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ibnu Juraij dan lain-lain yang sebahagian besarnya daripada golongan ulamak salaf.
Diriwayatkan bahawa Umar r.a pernah menulis surat kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah katanya:

“Sesunguhnya telah sampai ke pengetahuan bahawa wanita-wanita ahli Dhimmah telah masuk ke dalam bilik-bilik mandi bersama-sama wanita Islam maka hendaklah kamu melarang perkara yang sedemikian dan menyekatnya daripada terus berlaku kerana tidak diharuskan begi seorang wanita Dhimmiyah melihat aurat wanita Islam.”
Ibnu Abbas r.s pula menyatakan bahawa:
“adalah tidak harus seorang wanita Islam dilihat oleh wanita Yahudi atau Nasrani.”
Bagi mereka yang mengatakan bahawa maksud gantinama “mereka” itu sebagai wanita secara umumnya, iaitu Islam dan bukan Islam, berpendapat adalah harus bagi wanita Islam mendedahkan aurat mereka di hadapan wanita bukan Islam, sama seperti kedudukannya ketika berhadapan dengan wanita Islam yang lain.
Dengan erti kata bahawa wanita Islam diharuskan mendedahkan auratnya di hadapan wanita bukan Islam selain daripada anggota yang terletak di antara pusat dan lutut. Ini adalah pendapat ulamak mazhab Hanbali dan juga salah satu pendapat fuqahak mazhab Hanafi dan Shafie. Pendapat ini disahkan pula oleh al-Ghazali dan al-Fakhrul Razi, dua ulamak tokoh dari mazhab Maliki.
Al-Fakhrul Razi berkata:

“Pendapat ini adalah lebih lembut dan sesuai dengan manusia pada hari ini yang hampir-hampir tidak mungkin lagi bagi para wanita Islam melindungi diri mereka daripada pandangan wanita-wanita dhimmiyah.”
Mereka mengatakan bahawa maksud “mereka” itu adalah wanita khusus yang dikenali melalui persahabatan, pekerjaan dan perkenalan sama ada wanita Islam atau bukan Islam, menegaskan bahawa harus bagi para wanita Islam mendedahkan auratnya kecuali bahagian anggota yang terletak antara pusat dan lutut, tanpa sebarang hijab(penutup) di hadapan wanita-wanita yang terhormat dan mulia(tinggi peribadinya) biarpun mereka itu bukan Islam.
Jelasnya, neraca keharusan tersebut adalah berdasarkan kepada asas akhlak, bukan asas agama. Lantaran itu, apabila wanita Islam berhadapan dengan wanita fasik yang tidak mempunyai sifat malu, tidak berakhlak dan beradab sopan, maka wajiblah ke atas mereka menutup auratnya kerana mendampingi mereka tidak kurang bahayanya daripada mendampingi lelaki ajnabi yang mungkin merosakkan akhlaknya. Ini adalah pendapat al-Maududi, seorang ulamak mutakhir yang amat popular di kalangan umat Islam masa kini. Suatu pendapat yang sederhana yang dapat menyelaraskan dua pendapat sebelumnya, dan ia amat sesuai sekali dengan suasana dan keadaan sekarang ini.
Kita berasa agak sukar untuk menerima pendapat pertama kerana kedudukan pergaulan sekarang ini di antara orang Islam dan bukan Islam memang tidak dapat dielakkan. Setiap hari kita bertemu dan berurusan dengan mereka di merata-rata tempat dan pada bila-bila masa sahaja. Malah kita tidak dapat pula mengamalkan pendapat kedua kerana tanpa membezakan di antara wanita bukan Islam yang berakhlak dan tidak berakhlak bererti kita mendedahkan para wanita Islam kita pada suatu keruntuhan moral yang mungkin lebih buruk daripada apa yang kita sangkakan.

Mengikut keadaan suasana keadaan di Malaysia ini dan bagi mengelakkan fitnah serta kesesuaiannya dalam masyarakat kita, dapat disimpulkan bahawa, aurat wanita muslim dengan wanita muslim yang lain dan wanita non-muslim adalah sama. Iaitu dibolehkan wanita Islam mendedahkan rambutnya sampai bawah leher, tangannya dan dari lutut ke bawah.

Auratnya Bersama Hamba

Mengenai auratnya (wanita) bersama harnba, jikalau hambanya perempuan maka hukumnya adalah menyerupai auratnya bersama para wanita yang lain tetapi jikalau hamba tersebut adalah lelaki maka mengikut pendapat yang paling tepat, auratnya wajib ditutup sama seperti ketika dia berhadapan dengan seorang lelaki ajnabi.




Auratnya Bersama Pondan

Mengenai auratnya (wanita) bersama pondan, sekiranya fitrah kejadian pondan terbabit adalah semuiajadi maka hukumnya adalah sama seperti auratnya ketika bersama muhrimnya yang lelaki iaitu selagimana pondan tersebut masih kekal begitu dan tidak berubah nalurinya menjadi bernafsu.

Auratnya Bersama Kanak-Kanak[2]

Mengenai auratnya (wanita) bersama kanak-kanak, sekiranya kanak-kanak tersebut belum mumayyiz dan belum bernafsu maka hukumnya ialah sama seperti hubungan sesama wanita iaitu dibenarkan auratnya dilihat oleh-kanak-kanak tersebut melainkan pada bahagian di antara pusat hingga ke lutut Akan tetapi sekiranya kanak-kanak itu sudah pun mumayyiz dan bersyahwat maka hukumnya adalah sama seperti ajnabi.

Aurat Ketika Bersendirian

Pada dasamya, umat Islam dilarang daripada tidak berpakaian sekalipun ketika berseorangan tetapi dibenarkan jikalau keadaan memerlukan begitu seperti ketika berada dalam bilik air untuk mandi atau membuang air. Ini berdasarkan Hadis sahih yang menerangkan bahawa Nabi Musa dan Ayub a.s. pernah mandi tanpa mengenakan kain basahan sedang Nabi s.a.w. ketika menyatakan hal ini, baginda hanya berdiam diri sahaja. Oleh itu, haram tidak berpakaian ketika bersendirian tanpa apa-apa keperluan, makruh tidak berpakaian ketika mandi dan diharuskan ketika membuang air.

Aurat Wanita Tua [3]








”Dan mana-mana perempuan tua yang telah putus kedatangan haid, yang tidak mempunyai harapan berkahwin lagi maka tidak ada salahnya mereka menanggalkan pakaian luarnya, dengan tidak bertujuan mendedahkan perhiasan mereka; dalam pada itu perbuatan mereka menjaga kehormatannya (dengan tidak menanggalkan pakaian luarnya itu adalah) lebih baik bagi mereka; dan (ingatlah) Allah Dan mana-mana perempuan tua yang telah putus kedatangan haid, yang tidak mempunyai harapan berkahwin lagi maka tidak ada salahnya mereka menanggalkan pakaian luarnya, dengan tidak bertujuan mendedahkan perhiasan mereka; dalam pada itu perbuatan mereka menjaga kehormatannya (dengan tidak menanggalkan pakaian luarnya itu adalah) lebih baik bagi mereka; dan (ingatlah) Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.[4]

Abdullah bin Ibrahim al-Jarullah menegaskan bahawa pengkhususan hukum kepada wanita tua menunjukkan bahawa wanita-wanita muda yang masih mempunyai keinginan untuk berkahwin tidak temasuk dalam penunjukan hukum atau khitab ayat ini. 'Atiyyah Saqar dalam fatwanya telah mengulas kedudukan ayat ini dengan menyandarkan kepada pendapat-pendapat yang muktabar tentang maksud
atau tua seperti yang dikehendaki dalam ayat di atas, ialah:
1. Perempuan yang sudah berhenti atau tamat perkerjaan (pencen) dan tinggal di rumah sahaja tanpa lagi melakukan kerja-kerja luar
kerana sudah tua
2. Perempuan yang tidak lagi menarik kerana sangat tua.
3. Perempuan yang putus haidh dan tiada keinginan berkahwin lagi

Al-Qurtubi dan Ibn Kathir memindahkan pendapat ilama, wanita yang dianggap tua seperti dalam tiga keadaan di atas diharuskan menanggalkan pakaian jilbab. Dr. Muhammad Rawwas Qal’aji dalam kitabnya, Mawsu’ah Fiqh Abdullah bin Abbas Qal’aji menyebut bahawa :




"Harus bagi perempuan tua daripada kalangan wanita bahawa dud.uk di rumah-rumah mereka dengan memakai dir'i (baju yang menutup bahagian atas) dan khimar (sesuatu yang menutup kepala) tanpa mengenakan jilbab (pakaian luaryang longgar) dan bahawa klaki-lelaki masuk menemui mereka di rumah-rumah mereka sedangkan mereka dalan situasi tersebut. Jika sekiranya zahir daripada mereka bahagian yang pada adat didedahkan tanpa memberatkan seperti lengan, telinga dan leher atau seumpamanya.
Mungkin pandangan inilah yang banyak diketengah dan diamalkan oleh kebanyakan umat Islam terutamanya wanita tua di negara ini. Perempuan dibolehkan menampakkan muka hingga ke telinga, leher hingga ke pangkal leher baju yang dipakai yang mana buka leher bajunya tidak terlalu luas dan dua tangannya sehingga ke lengan iaitu di bawah paras siku.
Rambut perempuan tetap dianggap aurat di sisi syarak. Dengan itu mereka masih wajib menutup kepada dengan kain tudung atau terbus. Namun, apabila mereka keluar daripada rumah, auratnya tetap sama seperti wanita muda.

Hikmat wanita tua diharuskan membuka jilbab kerana sebab tertentu,

1. Amat keberatan di atasnya melazimi disebabkan tua.
2. Rambutnya telah uban atau jarang merendahkan risiko kehadiran fitnah
3. Sebahagian besar masanya dihabiskan tinggal tetap di rumah. Keadaan ini menjadikan ia jarang-jarang bertemu dengan lelaki ajnabi.

--------------------------------------------------------------------------------

[1] http://www.pmram.org/

[2] Sila rujuk, al-Fiqh al-Islami Wa adillatuh, jld. : 1, hlmn. : 595-598.

[3] Azhar Abdullah, Jalinan Aurat Dalam & Luar Solat, Nilam Puri, Kota Bharu, 2004.


[4] Surah An-Nur : 60